Showing posts with label Nek Aku Bonek Koen Kate Lapo?. Show all posts
Showing posts with label Nek Aku Bonek Koen Kate Lapo?. Show all posts

Wednesday, 14 March 2012

Jiwa Suporter

Saya percaya, bahwa di dunia tak ada 'hil yang mustahal' (meminjam pernyataan populer pelawak Asmuni). Tak ada yang muskil. Setiap orang bisa ditindas, bisa dipaksa secara kasat mata, tapi tidak ada yang bisa memaksa proses komunikasi. Tindakan komunikatif, itulah resep filsuf Jurgen Habermas, yang saya kira bisa digunakan untuk mendamaikan kelompok suporter yang berseteru.



'Communicative action' tak selamanya membutuhkan peran aparatus negara. Kehadiran aparatus negara bukan jaminan sebuah 'communicative action' berjalan di antara dua kelompok yang berseteru. Kita sudah lihat banyak contoh bagaimana ikrar perdamaian yang dilakukan di rumah makan atau di kantor polisi, dengan dihadiri pejabat-pejabat pemerintah atau keamanan justru tak menghasilkan apapun selain kertas yang ditandatangani bersama.









'Communicative action' justru bisa hadir sebagai bagian dari kebijaksanaan lokal, keinginan mandiri masyarakat sipil. Dan untuk itu, kita bisa belajar dari Kabupaten Jember, Jawa Timur, dan Kota Solo, Jawa Tengah, dalam urusan perdamaian suporter.



Jember selama ini merupakan salah satu kota basis kuat Bonek di ujung timur Jawa. Para Bonek ini rata-rata adalah masyarakat asli Jember. Dan salah satu basis Bonek ada di Kecamatan Semboro, tempat kelahiran Andik Vermansyah, pemain binaan Persebaya. Saat Persebaya berulang tahun 18 Juni 2011 lalu, ratusan Bonek berkonvoi dan melakukan tasyakuran di Semboro.



Di lain pihak, di Jember ada pula Aremania yang tumbuh belakangan, terutama setelah Arema Malang menjadi juara Liga Indonesia. Kehadiran dua kelompok suporter yang selama ini bermusuhan tersebut berpotensi memunculkan gesekan. Namun, selama ini tidak terdengar adanya bentrokan besar antara Bonek dan Aremania di Jember. Padahal, di jalan-jalan di Jember, mudah ditemui warga setempat memakai kaos hijau Bonek dan kaos biru Aremania saling berpapasan.



Tak adanya gesekan antara Bonek dan Aremania di Jember tak lepas dari peran Berni (Jember Brani), kelompok suporter kesebelasan Persid. Berni memang tergolong masih muda sebagai kelompok suporter. Namun Bonek dan Aremania di Jember menghormati kelompok suporter yang diketuai Agus Rizky ini.



Ada upaya komunikatif yang dilakukan Berni, yang jauh dari niatan formalistis belaka. Tokoh Berni bersedia menemui pentolan Bonek dan Aremania di Jember. Dengan pendekatan hati ke hati, dua kelompok suporter itu diminta ikut menjaga perdamaian dan persahabatan di Jember, tanpa mengunggulkan atau menjatuhkan salah satu jelompok. "Hasilnya, Bonek dan aliansi suporter lain bisa berdampingan penuh persaudaraan di sini," kata Agus.



Saat Ribuan Bonek melakukan tret-tet-tet atau perjalanan laga tandang ke Bali dalam Liga Primer Indonesia 2011 silam, tak ada kerusuhan kala melewati Jember. Bahkan, dalam pantauan beritajatim.com kala itu, saat menyambut rombongan pertama Bonek yang naik kereta api, para suporter Berni tidak diiringi aparat kepolisian sama sekali. Pengamanan murni dilakukan para anggota Berni.



Suporter Jember juga bahu-membahu mengadakan aksi solidaritas dan unjuk rasa terhadap PT Kereta Api Indonesia. Mereka memportes penganiayaan terhadap Ryan Bachtiar, Bonek Jember asal Gebang, yang dilakukan oleh oknum polisi khusus kereta api. Saat itu, Wardoyo Achmad, salah satu pentolan suporter Jember, juga ikut mendampingi keluarga Ryan dalam rapat dengar pendapat dengan DPRD setempat. Ini salah satu yang membuat Bonek di Jember segan terhadap Berni. Keseganan itu pada akhirnya menjadi salah satu elemen perdamaian.



"Apabila semua daerah penyangga bisa kondusif seperti di Jember, setidaknya itu akan semakin melemahkan dan bahkan memadamkan perseteruan kelompok suporter. Setelah itu, barulah para pemimpin utama kelompok suporter yang bertikai dipertemukan. Jadi solusinya penyelesaian dari bawah ke atas, bukan dari atas ke bawah," kata Agus lagi.



Agus sudah lama mengenal kelompok suporter Bonek. Menurutnya, para sesepuh suporter asal Surabaya itu tak hanya memaknai Bonek sebagai nama suporter, tapi juga semangat. "Semangat kepemilikan, semangat kebanggaan, dan semangat kebersamaan yang tertanam pada diri Bonek sudah mendarah daging, sudah merasuk ke tulang sumsum," katanya.



Agus mengakui, persebaran komunitas suporter Persebaya cukup luas di Jawa Timur dan bahkan Indonesia. "Mereka bukan hanya orang Surabaya, bukan hanya orang Jawa Timur," katanya. Mereka disatukan oleh semangat kebanggaan dan kebersamaan tadi.



Dalam pandangan Agus, semangat Bonek ini tidak bisa dihentikan dengan gerakan-gerakan kontra lahiriah semata, karena hanya akan membuat api semangat itu semakin membara. "Dan ini bisa berlanjut dengan timbulnya mata rantai permusuhan yang tidak berkesudahan dari generasi ke generasi," jelasnya.



Pria yang juga dijuluki 'Om San Liong' ini mengakui, penguasa memang mencoba memfasilitasi perdamaian Bonek dengan suporter klub sepakbola lain yang berseteru. Namun ia menyayangkan, perdamaian tersebut baru sebatas di antara para pemimpin suporter. "Tanpa mengajak peran serta arus bawah, maka hasilnya tidak akan seperti yang diinginkan bersama. Gesekan masih terjadi, dan bahkan berakibat kematian," kata Agus.



Proses perdamaian suporter akan lebih mudah, lanjut Agus, jika tidak dibarengi dengan kepentingan politik kelompok lain di luar suporter. "Biarkan mereka menyelesaikan dengan jiwa suporter masing-masing," katanya.



'Menyelesaikan dengan jiwa suporter' sebagaimana dikatakan Agus yang membuat Bonek dan Pasoepati Solo bisa berdamai. Tahun 2010, media massa menyajikan kepala berita (headlines) tentang perang batu antara Bonek dengan suporter dan warga Solo di perlintasan kereta api. Saat itu tak hanya batu. Bom molotov pun juga ikut berhamburan. Untunglah tak ada korban jiwa.



Namun setahun kemudian, Bonek dan Pasoepati bisa berdamai, yang kali ini, tidak ada media massa utama yang menjadikan headline dan berita besar. Perdamaian Bonek dan Pasoepati sama sekali tanpa intervensi negara dan dilakukan mandiri oleh suporter.



Sejumlah perwakilan Bonek menemui sesepuh Pasoepati di Solo. Cinta tak bertepuk sebelah tangan, karena Pasoepati pun ternyata memang tengah berupaya melakukan perdamaian dengan Bonek. Sebuah pohon mundu ditanam bersama di sebuah rumah di Solo, sebagai simbol persahabatan. Kebetulan, di dekat Gelora 10 Nopember Tambaksari, juga ada sebuah tempat yang bernama Taman Mundu yang menjadi tempat kongko suporter Bonek.



Perdamaian dimulai dengan sebuah pertaruhan besar. Saat itu, untuk membuktikan kesungguhan berdamai, Bonek mengundang Pasoepati untuk hadir ke Surabaya menyaksikan pertandingan Persebaya melawan Solo FC, dalam Liga Primer Indonesia 2011. Pasoepati dengan berani menyanggupi tawaran tersebut.



Perdamaian adalah gagasan dan cita-cita. Ia butuh tangan dan kaki, yang artinya butuh kerja keras untuk mewujudkannya. Mewujudkan 'tangan dan kaki perdamaian', sejumlah perwakilan Bonek Surabaya melakukan perjalanan estafet dari kota ke kota di Jawa Timur yang dilalui kereta api yang bakal mengangkut suporter Pasoepati ke Surabaya.



Perwakilan Bonek Surabaya menemui kelompok-kelompok Bonek di kota-kota itu untuk menyosialisasikan kesepakatan damai, dan meminta agar rombongan kereta api Pasoepati tidak diserang. Di luar dugaan, tak ada resistensi dari Bonek di luar Surabaya. Mereka setuju berdamai dan berjanji tak melakukan penyerangan.



Di Solo, perwakilan Bonek di sana ikut serta dalam kereta api yang ditumpangi Pasoepati untuk berjaga-jaga, jika rencana perdamaian mendapat gangguan di salah satu kota di Jawa Timur.



Hasilnya luar biasa. Ratusan Pasoepati dengan atribut merah dan spanduk besar akhirnya bisa hadir kembali di Tambaksari pada Mei 2011, sebagaimana tahun 2000 lalu. Tidak ada bentrokan sebagaimana ditakutkan polisi yang melarang laga Solo FC versus Persebaya digelar di Solo.



Sebagai balas budi, para suporter Pasoepati berjaga-jaga di daerah-daerah yang rawan bentrokan, saat Bonek mengiringi laga tandang Persebaya ke Jogjakarta. Terakhir, Pasoepati mengirimkan perwakilan dan memasang spanduk bela sungkawa di Gelora Tambaksari Surabaya.



Perdamaian bukan barang sekali jadi. Seperti sebuah pohon mundu di Solo, ia butuh disiram terus-menerus dengan 'air komunikasi', dirawat agar tak terserang hama 'syak wasangka' dan gulma 'curiga'.



Dari sini, boleh jadi Agus Rizky benar. "Biarkan mereka menyelesaikan persoalan dengan jiwa suporter, tanpa dicampuri urusan politik."



Penulis : Oryza A. Wirawan

Sumber : http://beritajatim.com/sorotan.php?newsid=1116

Monday, 12 March 2012

Surat Untuk Bonek

Saya tahu, hari ini kalian tengah marah, kecewa. Lima orang dari kalian meninggal dunia, sebagian besar berusia belasan tahun, dan belasan lainnya mengalami luka-luka, saat melintasi Lamongan. (Saya mendapat kabar, jumlah korban ini masih bisa bertambah, dan semoga kabar itu salah).



Kalian mungkin marah, karena merasa ditipu atau dibohongi: kenapa korban banyak berjatuhan, justru setelah media massa memberitakan sebuah proses menuju perdamaian, antara kalian dengan suporter dari Lamongan.











Kalian mungkin merasa diperlakukan tak adil oleh aparat keamanan dan media massa. Saat sebagian dari kalian melakukan tindak kejahatan, itu dijadikan rasionalisasi untuk menyamaratakan kalian sebagai kriminal. Saat kalian melakukan tindakan terpuji, tak ada yang peduli.



Kalian berteriak kepada dunia: 'Kami memang tidak sempurna, sebagaimana lazimnya manusia. Ada di antara kami yang berbuat onar, tapi banyak juga di antara kami warga yang patuh hukum. Di antara ribuan apel di pasar, selalu ada apel yang busuk. Tapi mengapa kami tidak boleh mendapat perlakuan yang adil?'



'Di Jember, ada seorang kawan kami, berbaju Bonek, yang berusia belasan dipukuli hingga tulang tengkorak remuk dan disundut rokok di atas kereta api, hanya karena tidak membayar tiket karena kehabisan uang. Sementara, penumpang lain yang tidak punya tiket pula bisa bermain mata dengan oknum petugas sepur, atau hanya diturunkan baik-baik di stasiun terdekat.'



Kalian berteriak kepada dunia: 'Kenapa media massa lebih suka memberitakan sebagian dari kami melakukan kejahatan, daripada bercerita tentang ribuan dari kami bisa berdamai dengan suporter Bandung, Semarang, Jogjakarta, Solo, Makassar, dan menghilangkan dendam lama? Apakah sebuah damai tak lagi menarik di tengah Indonesia yang karut-marut karena omong kosong politik?'



Ya, memang orang banyak sering lupa (atau sengaja lupa, entahlah), bahwa sebagaimana komunitas yang lain, wajah Bonek tak pernah tunggal. Ia beragam. Ada seorang kawan saya, seorang pegawai negeri sipil, yang menjadikan lagu 'Iwak Peyek' versi stadion sebagai nada dering ponselnya. Ada seorang pengasong bakso di Jember yang menempelkan merek 'Bakso Bonek' untuk dagangannya.



Orang banyak mungkin tak tahu (atau sengaja pura-pura tidak tahu, entahlah), bahwa tak selamanya Bonek berasal dari kalangan bawah. Mereka yang dari kalangan bawah pun tak selamanya menjarah, sebagaimana tak selamanya ada jaminan pengusaha kaya raya dan politisi di negeri ini tidak berlaku korup dan mengemplang pajak.



Ada Bonek yang dari kalangan bawah rela menjual barang milik mereka hanya untuk menonton Persebaya, dan bukannya mencopet atau merampok, sebagaimana yang pernah disebut-sebut Karni Ilyas di sebuah acara di TV One.



Subkultur kekerasan bukanlah eksklusif milik kalian. Pelaku pengeboman di Bali dan Jakarta yang memakan banyak korban tak mengatasnamakan kecintaan terhadap Persebaya, tapi terhadap agama. Di pojok lain Indonesia, orang saling serang dan berbunuh-bunuhan atas nama kampung, dan bukan atas nama klub sepakbola.



Kebiasaan berdiri di atas atap gerbong kereta api, juga bukan laku khas kalian. Di Jakarta, setiap hari saat jam kerja, selalu ada orang-orang yang memilih berada di atap gerbong kereta api daripada berjubel-jubel di dalam gerbong yang pengap.



Berebut untuk mendapat barang gratis dan murah tak selamanya bisa dilekatkan sebagai perilaku khas kalian, para Bonek. Di Indonesia, orang-orang rela berdesak-desakan sampai pingsan dan berkelahi, hanya untuk memperoleh Blackberry dengan harga yang 'masya Allah' murahnya. Atau rela berdesak-desakan untuk mendapat Bantuan Langsung Tunai, dan setelah itu pergi ke pasar membeli baju atau barang konsumtif, daripada menyimpannya untuk hal lain yang lebih berguna.



Pada akhirnya, Bondo Nekat adalah sebuah semangat, bukan sekadar nama. Dan dengan semangat itulah, kalian disatukan. Des Alwi, anak angkat Sutan Sjahrir, beberapa kali menyebut kata 'Bonek' atau 'Bondo Nekat' dalam memoarnya tentang Pertempuran Surabaya 1945 untuk melukiskan keberanian di masa itu.



Seseorang tak bisa diadili hanya karena semangat yang dimilikinya, atau kebanggaannya. Di negeri ini, orang seharusnya diadili karena apa yang dilakukannya, bukan apa latar belakangnya.



Kita mengadili mereka yang mencuri, menjarah, mengemplang pajak, atau menggangsir uang negara. Namun kita tak bisa mengadili seseorang hanya karena dia kelompok suporter A, B, atau C; atau hanya karena dia memiliki keyakinan X, Y, atau Z.



Kawan, saya tahu kalian marah, dan pada akhirnya mungkin akan berteriak: 'kami tak lagi peduli. Lima saudara kami telah mati. Kami akan menuntut balas'.



Tapi apa artinya menuntut balas? Jika mata dibalas mata, maka dunia akan buta. Demikian Gandhi berkata. Tak mudah memang menahan kemarahan, juga dendam. Saya bukan orang suci yang layak memberi nasihat itu, tentu saja. Tapi sebagai orang biasa, warga negara Indonesia, saya tentu boleh berharap: tak ada lagi darah yang menetes di lapangan sepakbola.



Pembalasan dendam hanya akan memunculkan korban baru sia-sia dan memperpanjang daftar amarah, juga kebencian. Warga Lamongan, terutama yang tinggal di Surabaya, bukanlah musuh kalian. Bahkan, saya yakin, mereka juga prihatin dan marah dengan kematian sia-sia itu. Pada dasarnya, kematian anak-anak berusia belasan tahun tersebut adalah duka kemanusiaan, yang menyentuh hati siapapun, menembus demarkasi kasta, agama, atau puak.



Saya ingat tahun 1994, seorang Bonek yang juga satpam yang santun, Suhermansyah, mati dalam kerusuhan di Stadion Mandala Krida Jogjakarta. Saat itu aroma balas dendam menyeruak, tapi hari ini kita semua tahu, kalian bisa bersahabat dengan suporter Jogjakarta.



Saya percaya, suatu saat kelak, luka, kesedihan, dan kemarahan, karena tragedi atas jalur kereta api itu akan berakhir. Saya selalu percaya: bahwa waktu akan menyembuhkan luka. Setiap luka akan selalu mengering, sebagaimana setiap air mata akan diseka.



Saya ingat Emha Ainun Najib pernah berkata: kematian bukanlah tragedi, kecuali kita mengambil hak Tuhan untuk menentukannya. Saya percaya, kalian tentu tak akan mengambil hak Tuhan itu dengan memperpanjang daftar korban baru.



Kalian mungkin marah, karena saat sebagian dari Bonek berbuat kriminal (termasuk membunuh suporter lain), polisi bertindak cepat menangkap pelakunya. Saat sebagian dari Bonek melakukan kejahatan, aparat keamanan bertindak tangkas membekuknya.



Kalian lalu bertanya: ke mana aparat keamanan berjaga, saat lima dari kalian mati dalam sebuah perjalanan maut di atas kereta api barang? Saya tidak tahu. Tapi saya percaya, polisi tak akan membiarkan peristiwa ini diam-diam tanpa pengusutan.



Kawan, dunia bukan surga. Tapi mungkin justru itu yang membuat dunia dihargai: ia ada karena ikhtiar bersama. Ia ada karena kita selalu bisa memperbaiki harapan.



Seperti sebuah efek kepak sayap kupu-kupu, satu kebaikan dan kebajikan di Surabaya, akan berbuah baik di sebuah tempat, ribuan mil dari kota kalian.



Saya percaya, kalian selalu berusaha lebih baik, walau pun tak banyak yang mau mencatat dan mengabarkannya. Saya percaya, karena justru kalian menyadari: bahwa kalian tidak sempurna, karena yang sempurna hanya ada di Atas Sana.



Jika suatu saat kalian lelah dan tak mempercayai apapun lagi, maka ingatlah sebatang pohon mundu di sebuah rumah di Solo, ratusan kilometer dari Surabaya. Pohon yang ditanam bersama oleh kalian dan suporter Pasoepati Solo dengan itikad baik dan keyakinan: bahwa dalam diri manusia, tak selamanya gelap, karena di sana juga ada terang. Dan dari situ, kita boleh berharap.



Penulis : Oryza A. Wirawan

Sumber : http://beritajatim.com/sorotan.php?newsid=1115



Terima kasih Cak Oryza, Bonek besar bukan karena media, tapi media besar karena Bonek. Semoga kedepannya, adik-adik saya, para penerus generasi Bonek bisa menjadi penulis-penulis yang hebat seperti Cak Oryza.



SALAM 1 NYALI, WANI!!!